Muhammad Nasri
1463411101
KASUS HIPOTIK
GUGATAN INTERVENSI
PIHAK KETIGA
PERTAHANKAN HAK HIPOTIK
Kronologi Kasus
Setelah mereka membeli
toko tersebut, Umar mengajukan permohonan sertifikat tanah atas toko Mayko yang
telah dibeli oleh kongsi dagang tersebut atas nama Umar pribadi tanpa
sepengetahuan Abdul Ghani dan istrinya. Tidak lama kemudian, terbitlah
sertifikat tanah atas nama Umar.
Kemudian dengan
menggunakan sertifikat hak milik tanah atas toko Mayko tersebut, Umar secara
pribadi mengajukan kredit dari Bank BNI dengan jaminan tanah atas toko Mayko.
Jaminan kredit yang diberikan oleh Umar berupa Sertifikat tanah tersebut
kemudian oleh Bank BNI dibebani dengan hak hipotik no. 205 dan sertifikat tanah
No. 59, Toko Mayko, Jalan Andalas Bireuen, dipegang oleh Bank.
Pada tahun 1968, timbul
sengketa dalam kongsi dagang antara Abdul Ghani dan istrinya Aisyah dengan Umar
tentang masalah pembagian hak atas toko Mayko tersebut. Mereka berusaha
menyelesaikan sengketa ini dengan jalan musyawarah, dan akhirnya pada tanggal
28 September 1968 tercapai perdamaian atas tanah dengan bangunan toko Mayko di
Jalan Andalas di Bireuen dengan kesepakatan sebagai berikut:
1. Abdul Ghani berhak
40%
2. Aisyah berhak 20%
3. Umar berhak 40%
Namun pada
kenyataannya, perjanjian yang telah disepakati oleh tiga orang tersebut, tidak
ditaati oleh Umar, dalam arti Umar tetap memegang kekuasaan penuh atas toko
Mayko. Berangkat dari ketidaktaatan Umar terhadap perjanjian tersebut, maka
terungkap pula kecurangan Umar selama ini mengenai penyalahgunaan sertifikat tanah
atas toko Mayko. Dan pihak Abdul Ghani dan Aisyah baru menyadari bahwa selama
ini mereka telah dirugikan oleh Umar, kemudian Abdul Ghani dan Aisyah
mengajukan gugatan terhadap Umar di Pengadilan Negeri. Selama gugatan Abdul
Ghani dan Aisyah diproses, pihak Bank BNI mengajukan gugatan intervensi bahwa
Umar terikat perjanjian kredit 19 Desember 1960 dengan menyerahkan jaminan
berupa bangunan toko, Sertifikat hak milik No. 59, dan telah diikat dan
dibebani hak hipotik dengan akta dan Sertifikat Hipotik No. 205.
Kemudian berdasarkan
berbagai pertimbangan, maka Hakim memberi putusan bahwa sertifikat yang
dimiliki Umar adalah tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga Umar dihukum
dengan ketentuan menyerahkan 40% bagian kepada Abdul Ghani dan 20% kepada
Aisyah. Kemudian terhadap gugatan intervensi yang diajukan oleh Bank, Hakim
menyatakn bahwa sesuai dengan apa yang seharusnya di berikan kepada pihak yang
dirugikan, Pengadilan menyatakan bahwa sertifikat yang telah dibebani hipotik
hanya berlaku untuk 40% saja.
Mungkin putusan
pengadilan telah dianggap adil, akan tetapi pihak Umar mengajukan banding ke
Pengadilan Tinggi untuk dapat memenangkan perkara ini. Kemudian hasil dari
banding itu sendiri adalah membatalkan putusan pengadilan Negeri Biruen dan
menyatakan bahwa setifikat yang dimilki oleh Umar adalah sah dan berharga.
Putusan di tingkat banding ini didasari dengan pertimbangan bahwa toko Mayko
adalah sah milik Umar karena didasari bukti Sertifikat Hak Milik atas Tanah
dengan nama Umar, dan kongsi dagang seperti yang telah disebut-sebut kini sudah
tidak ada lagi karena sudah dibongkar dalam rangka peremajaan kota.
Setelah putusan banding
ini, ternag saja pihak Abdul Ghani dan Aisyah merasa dirugikan. Kemudian mereka
mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung, yang mana Mahkamah Agung menyatakan
bahwa putusan Pengadilan tinggi dianggap batal dan memutuskan sendiri bahwa
Umar hanya mempunyai hak 40% atas tanah dan dikenai hak hipotik.
A. Hak Hipotik
dalam Konsep Hukum Perdata
1. Pengertian
Dalam KUH Perdata,
hipotik diatur dalam bab III pasal 1162 s/d 1232. Sedangkan definisi dari
hipotik itu sendiri adalah hak kebendaan atas suatu benda tak bergerak untuk
mengambil pergantian dari benda bagi pelunasan suatu hutang.[1]
Hak Hipotik merupakan
hak kebendaan yang memberikan kekuasaan atas suatu benda tidak untuk dipakai,
tetapi untuk dijadikan jaminan bagi hutang seseorang. Menurut pasal 1131 B.W.
tentang piutang-piutang yang diistimewakan bahwa “segala kebendaan si berutang,
baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang
baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perseorangan.” Yang mana dalam pembahasan yang dikaji dalam makalah ini khusus
kepada kebendaan si berutang berupa benda yang tidak bergerak yang dijadikan
sebagai jaminan untuk hutang, inilah yang termasuk dalam pengertian hak Hipotik
seperti yang telah disebutkan di atas. Apabila orang yang berhutang tidak dapat
menepati kewajibannya, maka orang berpihutang dapat dengan pasti dan mudah
melaksanakan haknya terhadap si berhutang, atau sederhananya si berpiutang
dapat meminta benda yang dijadikan sebagai jaminan, meskipun barang itu sudah
berada di tangan orang lain.
1. Azas-azas
Hipotik
1. Azas publikasi,
yaitu mengharuskan hipotik itu didaftarkan supaya diketahui oleh umum. Hipotik
didaftarkan pada bagian pendaftaran tanah kantor agrarian setempat.
2. Azas
spesifikasi, hipotik terletak di atas benda tak bergerak yang ditentukan secara
khusus sebagai unit kesatuan, misalnya hipotik diatas sebuah rumah. Tapi tidak
aada hipotik di atas sebuah pavileum rumah tersebut, atau atas sebuah kamar
dalam rumah tersebut.
Benda tak bergerak yang
dapat dibebani sebagai hipotik adalah hak milik, hak guna bangunan, hak usaha
baik yang berasal dari konvensi hak-hak barat, maupun yang berasal dari
konvensi hak-hak adaptasi, serta yang telah didapatkan dalam daftar buku tanah
menurut ketentaun PP no. 10 tahun 1961 sejak berlakunya UUPA no. 5 tahun 1960
tanggal 24 september 1960.
1. Subyek Hipotik
Sesuai dengan pasal
1168 KUH perdata, di sana dijelaskan bahwa tidak ada ketentuan mengenai siapa
yang dapat memberikan hipotik dan siapa yang dapat menerima atau mempunyai hak
hipotik.
Sedangkan badan hukum
menurut tata hukum tanah sekarang tidak berhak memiliki hak milik, kecuali
badan-badan hukum tertentu yang telah ditunjuk oleh pemerintah, seperti yang
tertuang dalam pasal 21 ayat 2 UUPA. Ada empat golongan badan hukum yang berhak
mempunyai tanah berdasarkan PP no. 38 tahun 1963 yaitu:
1. Badan-badan
pemerintah
2.
Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian
3. Badan-badan social
yang ditunjuk oleh menteri dalam negeri
4. Badan-badan
keagamaan yang ditunjuk oleh menteri dalam negeri.
Mengenai siapa-siapa
yang dapat memberikan hipotik ialah warga negara Indonesia dan badan hukum
Indonesia sebagaimana ketentuan-ketentuan yang ada pada UUPA sendiri.
2. Obyek Hipotik
Pasal 1164 KUH perdata
mengatakan bahwa yang dapat dibebani dengan hipotik ialah:
1. Benda-benda tak
bergerak yang dapat dipindah tangankan beserta segala perlengkapannya.
2. Hak pakai hasil
atas benda-benda tersebut beserta segala perlengkapannya
3. Hak numpang
karang dan hak guna usaha
4. Bunga tanah
baik yang harus dibayar dengan uang maupun yang harus dibayar dengan hasil
dengan hasil tanah dalam wujudnya.[2]
Pasal 1167 KUH perdata
menyebutkan pula bahwa benda bergerak tidak dapat dibebani dengan
hipotik. Maksudnya adalah sebagai berikut:
1. Benda tetap
karena sifatnya (pasal 506 KUH Perdata)
2. Benda tetap
karena peruntukan (pasal 507 KUH Perdata)
3. Benda tetap
karena UU (pasal 508 KUH Perdata)
1. Prosedur
Pengadaan Hak Hipotik
Syarat-syarat yang
harus dipenuhi ketika akan mengadakan hipotik adalah: 1) Harus ada perjanjian
hutang piutang, 2) Harus ada benda tak bergerak untuk dijadikan sebagai jaminan
hutang.
Setelah syarat di atas
dipenuhi, kemudian dibuat perjanjian hipotik secara tertulis dihadapan para
pejabat pembuat akta tanah atau disingkat PPAT (pasal 19 PP no. 10
tahun 1961), yang dihadiri oleh kresitur, debitur dan dua orang saksi yang
mana salah satu saksi tersebut biasanya adalah kepala desa atau kelurahan
setempat di mana tanah itu terletak. Kemudian akta hipotik itu didaftarkan pada
bagian pendaftaran tanah kantor agrarian yang bersangkutan.
E. Hapusnya Hipotik
Menurut pasal 1209 ada
tiga cara hapusnya hipotik, yaitu:
2. Karena hapusnya
ikatan pokok
3. Karena
pelepasan hipotik oleh si berpiutang atau kreditur
4. Karena
penetapan oleh hakim
Adapun hapusnya hipotik
di luar ketentuan KUH Perdata yaitu:
1. Hapusnya hutang
yang dijamin oleh hipotik
2. Afstan hipotik
3. Lemyapnya benda
hipotik
4. Pencampuran
kedudukan pemegang dan pemberi hipotik
5. Pencoretan,
karena pembersihan atau kepailitan
6. Pencabutan hak
milik
Mungkin juga apabila
ada penghapusan hak atas tanah yang bersangkutan berdasarkan surat menteri
dalam negeri. Namun dalam hal ini yang hapus hanya perjanjian hipotiknya, tidak
menghapuskan perutangan yang pokok. Oleh karenanya, pihak perbankan harus
berhati-hati dan seksama dalam menghadapi segala kemungkinan yang terjadi, agar
tidak mengakibatkan kerugian bagi kreditur dengan mencantumkan janji-janji
tertentu di dalam pembebanannya.
Dan perlu dingat, bahwa
hak hipotik ini sudah tidak berlaku lagi karena telah dicabut dengan UU no. 4
tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah, karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan
perkreditan di Indonesia, akan tetapi secara substansial mempunyai kesamaan.[3]
A. Analisis Kasus
Hak hipotik sebenarnya
sudah tidak berlaku lagi karena telah dicabut dengan UU no. 4 tahun 1996
tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan
perkreditan Indonesia.[4] Namun
karena kasus yang dianalisis oleh penulis dalam makalah ini terjadi pada tahun
1960, maka kasus ini tetap dapat dijadikan sebagai bahan analisis kasus hukum
perdata khususnya mengenai hak hipotik.
Pada awalnya terjadi
kerjasama dagang antara tiga orang yaitu Abdul Ghani, Aisyah (istri Abdul
Ghani) dan Umar dalam bentuk kongsi. Setelah itu mereka membeli tanah di atas
toko, untuk kemudian dijadikan sebagai tempat usaha dagang sebagaimana tujuan
kerjasama itu diadakan. Dari sini bisa dilihat, bahwa sebidang tanah yang
dibeli dengan uang bersama tiga orang, maka tanah tersebut adalah hak milik
bersama tiga orang tersebut. Masing-masing berhak atas bagian tertentu
(prosentase) dari tanah tersebut, sesuai dengan jumlah/besarnya uang yang
diserahkan masing-masing orang untuk membeli tanah tersebut.
Namun pada kenyataannya
setelah mereka membeli tanah, tidak dilakukan pembagian tanah, sehingga
kesempatan ini dimanfaatkan Umar untuk diam-diam mengajukan permohonan
sertifikat tanah atas toko Mayko yang telah dibeli oleh kongsi dagang tersebut
atas nama Umar pribadi.
Dari sini penulis
menganalisis bahwa bilamana salah seorang yang mempunyai hubungan kerja sama
dengan orang lain, kemudian secara diam-diam membuat Sertifikat Hak Milik Tanah
atas namanya pribadi, maka Sertifikat Hak Milik Tanah tersebut adalah cacat
hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Akan tetapi Umar tidak memperhatikan
hal itu, karena dia dapat dengan mudah membuat sertifikat tanah atas toko Mayko
tersebut dikarenakan dua hal, yaitu:
1. Data yang
dibutuhkan untuk membuat sertifikat tanah yang berupa sertifikat jual beli atas
toko Mayko ditandatangani oleh Umar atas nama orang bertiga yang mempunyai
kongsi dagang tersebut.
2. Memang tanda
tangan Umar tersebut mengatasnamakan Abdul Ghani dan Aisyah, Namun mungkin
dalam serttifikat jual beli tanah atas toko Mayko tersebut tidak mencantumkan
nama Abdul Ghani dan Aisyah, sehingga Umar dengan mudah memproses pembuatan
Sertifikat Tanah tersebut.
Setelah pembuatan
sertifikat hak tanah atas nama Umar terbit, sertifikat ini digunakan Umar untuk
mengajukan kredit pada Bank BNI, yang kemudian dibebankan hak hipotik no. 205,
dan sertifikat tanah No. 59, Toko Mayko, Jalan Andalas Bireuen, dipegang oleh
Bank.
Hak Hipotik merupakan
hak kebendaan yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang tidak bergerak
untuk dijadikan jaminan bagi hutang seseorang. Maka yang dilakukan Umar dengan
menjadikan tanah atas toko Mayko tersebut sebagai benda yang dibebani hipotik
sudah sesuai dengan KUH Perdata pasal 1162 yang
berbunyi “Hipotik adalah suatu hak benda atas benda-benda tak bergerak, untuk
mengambil pergantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan”[5],
dan pasal 1164 KUH Perdata tentang hak yang dapat dibebani
hipotik pada ketentuan pertama, yaitu benda-benda tak bergerak yang dapat
dipindah tangankan beserta segala perlengkapannya.[6]
Kemudian berdasarkan
pasal 1166 KUH Perdata mengenai bagian yang tak terbagi dalam
benda tak bergerak yang menjadi milik kelompok, dapat difahami bahwa setelah
Umar membuat sertifikat tanah atas toko Mayko dan menjadikannya sebagai benda
hipotik, maka hipotiknya adalah seluruh bagian dari hak milih atas tanah Mayko
tersebut, karena disana tidak ada pembagian benda yang mengatur dan sertifikat
yang digunakan sebagai jaminan itu dapat ditunjukkan Umar atas namanya pribadi,
bukan atas nama tiga orang. Sehingga dengan sertifikat itu, pihak Bank juga
mengakui bahwa sertifikat hak milik tanah tersebut adalah milik Umar
sepenuhnya.
Berdasarkan kronologi
kasus yang telah disebutkan, di sana tidak dijelaskan apakah Umar telah
melaksanakan hipotik sesuai dengan prosedur pengadaan hipotik?, kemudian berapa
jumlah uang yang dikreditkan Bank kepada Umar?, kredit itu digunakan untuk
apa oleh Umar?, dan kapan batas waktu kredit pengembalian hutang tersebut?
Jika Umar memanfaatkan
hak hipotik ini untuk kepentingan pribadi seluruhnya, maka hal ini jelas sangat
merugikan pihak Abdul Ghani dan Aisyah. Namun apabila pada waktu batas yang
telah ditentukan untuk mengembalikan hutang, dan ternyata Umar tidak bisa
melunasinya, maka kecurangan Umar terhadap Abdul Ghani dan Aisyah akan
terungkap, dan Bank juga akan mengetahui bahwa sertifikat Hak Miik Tanah
tersebut ternyata bukan miik Umar sepenuhnya. Melalui dua pihak ini Umar bisa
dituntut ke pengadilan.
Kemudian pada tahun
1968 terjadi pesersengketaan antara mereka bertiga tentang pembagian hak milik
atas tanah tersebut. Persengketaan itu dapat diselesaikan dengan perdamaian
atas tanah dengan bangunan toko Mayko. Namun hasil perjanjian itu tidak ditaati
oleh Umar, mengingat dia telah menjadikan seluruh hak milik tanah toko Mayko
tersebut sebagai hipotik. Secara otomatis pihak Abdul Ghani dan Aisyah merasa
dirugikan oleh tindakan Umar tersebut, sehingga mereka berdua menggugat Umar di
Pengadilan Negeri dengan berbagai tuntutan seperti yang telah ditulis dalam
kronologi kasus.
Apabila pihak Abdul
Ghani dan Aisyah mengetahui bahwa sejak awal bahwa sebenarnya Umar telah
menyelewengkan Sertifikat Hak Milik atas tanah, maka mereka bisa menggugat
Umar, sehingga kerugian yang dirasakan oleh mereka berdua tidak memakan jangka
waktu yang lama.
Bersamaan dengan itu
pihak Bank juga mengajukan gugat intervensi kepada pengadilan. Pihak Bank
menyatakan bahwa tanah dan bangunan Toko sengketa Sertifikat Hak Milik No.
59, adalah hak milik syah dari Umar yang dibebani akta hipotik dan Sertifikat
Hipotik No. 205. Dari sini dapat diketahui bahwa pihak Bank hanya ingin
mempertahankan hipotiknya atas tanah sengketa dan bukan untuk melaksanakan
eksekusi hipotiknya. Karena di awal perjanjian Umar menyerahkan sertifikat yang
menunjukkan bahwa Umar berhak penuh atas tanah tersebut. Jadi Bank tidak mau
dirugikan karena ternyata Umar hanya mempunyai hak sebesar 40% dari obyek tanah
sengketa.
Hasil sidang yang
dinginkan atas gugatan pihak Abdul Ghani dan aisyah adalah, bahwa karena Umar
mengetahui bahwa tanah dengan bangunan toko tersebut masih dalam sengketa
dengan Abdul Gani, namun Umar menjaminkan tanah tersebut kepada Bank BNI 46
diatas kredit yang diterimanya dan oleh Bank, Tanah tersebut dibebani dengan
hipotik. Sehingga gugatan ini dapat dikabulkan dan menghukum Umar dengan
menyerahkan 40% harga tanah sengketa kepada Abdul Ghani dan 20% kepada Aisyah.
Dan menyatakan bahwa Sertifikat Hak Milik Tanah No. 59/1978 atas tanah sengketa
yang diatasnamakan Umar adalah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Kemudian dari gugatan
yang diajukan oleh Bank, hendaknya hakim memutuskan bahwa 40% dari tanah
sengketa, sebagai jaminan hutang yang diberikan Umar kepada Bank sesuai dengan
Perjanjian Kredit.
A. Catatan
1. Sebidang tanah
yang dibeli dengan uang bersama, maka tanah tersebut adalah hak milik
bersama. Masing-masing berhak atas bagian tertentu (prosentase) dari tanah
tersebut, sesuai dengan jumlah/besarnya uang yang diserahkan masing-masing
peserta untuk membeli tanah tersebut. Bilamana salah seorang, secara
diam-diam, tanpa setahu yang lain lalu membuat Sertifikat Hak Milik tanah atas
namanya pribadi, maka Sertifikat Hak Milik Tanah tersebut adalah cacat hukum
dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
2. Agar tidak
terjadi penyelewengan atas sertifikat atas hak milik tanah, maka apabila
kerjasama tersebut telah melakukan jual beli, hendaknya diadakan pembagian atas
benda tersebut.
3. Hakim
berkewajiban memeriksa dan mengadili gugatan intervensi yang diajukan oleh pihak
ketiga dalam gugatan pokok perkara yang sedang berlangsung persidangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar